Di Jepang ada “budaya malu” sehingga pejabat yang merasa malu atau malu-maluin mundur.
Di Indonesia, yang ada “budaya tak tahu malu”, jadi sangat langka ada
pejabat yang sudah “mamalukan” mundur. Itulah bedanya, antara apa yang
terjadi di Jepang dengan apa yang terjadi di negeri ini.
Kabinet Perdana Menteri Yoshihiko Noda yang baru
berusia dua pekan diguncang mundurnya Menteri Ekonomi, Perdagangan , dan
Industri Yoshio Hachiro, Sabtu (10/09). Yoshio menuai
protes masyarakat karena ucapannya dinilai menyinggung masyarakat dan
dianggap tidak mempunyai kepekaan terhadap apa yang dirasakan rakyat
Jepang. Karena malu, Yoshio mundur.
Ucapan Yoshio yang menyinggung masyarakat itu
terjadi ketika ia mengunjungi daerah di sekitar Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir Fukushima yang rusak akibat gempa bumi dan tsunami 11
Maret lalu. Ia menyebut Fukushima sebagai “kota mati”. Ia juga dilaporkan menggosokan jaketnya kepada wartawan, seakan ingin menunjukkan adanya suatu penularan radiasi kepada para wartawan itu. (Kompas Minggu, 11-09-2011)
Sebelumnya Perdana Menteri Naoto Kan, juga mengundurkan diri karena malu. Perdana
Menteri Kan dikecam karena dinilai lamban dalam menangani bencana alam
ganda di wilayah Fukusihima yang menelan lebih 20 ribu jiwa itu. Karena
malu dianggap tidak mampu mengatasi masalah, Kan pun mundur.
Ini hanya kisah undur diri yang kesekian kali yang
terjadi di Jepang, sebab sudah banyak kisah pejabat yang mengundurkan
diri sebelumnya. Penyebabnya selalu sama karna merasa gagal atau tidak
mampu, atau pun kesandung kasus-kasus yang dianggap memalukan.
Mungkin saja “budaya malu” di Jepang ini terjadi sebagai warisan dari
tradisi “harakiri” jaman dulu. Ketika kalah dalam peperangan orang
Jepang akan melakukan bunuh diri “harakiri”, yaitu dengan menusuk
perutnya sendiri. Mereka merasa lebih baik mati dari pada harus
menanggung malu.
Saya lalu membandingkan dengan apa yang terjadi di
negeri ini. Mengundurkan diri dari jabatan merupakan sesuatu yang sangat
langka, padahal tidak sedikit para pejabat yang ditengarai tidak
memberikan prestasi yang jelas dalam kerjanya. Menteri Perhubungan yang
dikecam bertubi-tubi karena banyak pesawat yang landingnya
anjlok di persawahan atau di tercebur di lautan, kereta api yang saling
berciuman, juga tak pernah terdengar ada ceritanya mundur. Pejabat yang
korupsi atau ketahuan teribat kasus-kasus yang memalukan juga tak
mengenal istilah mundur. Meskipun sudah banyak indikasi pejabat yang berbuat “memalukan”, tapi mundur justru dianggap sesuatu yang memalukan.
Bila ada seorang pejabat apes dan kepergok berbuat yang memalukan dan menyatakan mundur, justru akan segera dihakimi sebagai seorang yang hanya ingin membuat sensasi. Mundur dari jabatan juga sering dianggap sebagai lari dari tanggung jawab, pokoknya ada saja alasan untuk mencari pembenaran.
Segelintir pejabat yang pernah undur diri dari jabatan, alasannya bukan karena menyadari bahwa dirinya tidak mampu atau malu-maluin.
Alasan undur diri itu lebih karena adanya konflik kepentingan dengan
atasan sehingga tidak merasa nyaman lagi, semacam bentuk protes dan ngambek
kepada atasannya. Undur diri itu sifatnya hanya sebagai bentuk
pelampiasan kekecewaan dan ketidakpuasan, bukannya atas kesadaran bahwa
dirinya tidak mampu ataupun telah berbuat sesuatu yang memalukan.
Pembenaran-pembenaran itu mungkin juga yang
menyebabkan maraknya praktek-praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang
terjadi di negeri ini. Di sini memang yang ada baru “budaya tak tahu
malu” dan belum “budaya malu” semacam yang ada di Jepang.
Ternyata malu pun bisa berarti positif.
sumber : Lintas Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar