Senin, 10 Oktober 2011

budaya "Malu" di Jepang dan Budaya "Tak Tahu Malu" di Indonesia

 1316087884475165424Di Jepang ada “budaya malu” sehingga pejabat yang merasa malu atau malu-maluin mundur. Di Indonesia, yang ada “budaya tak tahu malu”, jadi sangat langka ada pejabat yang sudah “mamalukan” mundur. Itulah bedanya, antara apa yang terjadi di Jepang dengan apa yang terjadi di negeri ini.
Kabinet Perdana Menteri Yoshihiko Noda yang baru berusia dua pekan diguncang mundurnya Menteri Ekonomi, Perdagangan , dan Industri Yoshio Hachiro, Sabtu (10/09). Yoshio menuai protes masyarakat karena ucapannya dinilai menyinggung masyarakat dan dianggap tidak mempunyai kepekaan terhadap apa yang dirasakan rakyat Jepang. Karena malu, Yoshio mundur.
Ucapan Yoshio yang menyinggung masyarakat itu terjadi ketika ia mengunjungi daerah di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima yang rusak akibat gempa bumi dan tsunami 11 Maret lalu. Ia menyebut Fukushima sebagai “kota mati”. Ia juga dilaporkan menggosokan jaketnya kepada wartawan, seakan ingin menunjukkan adanya suatu penularan radiasi kepada para wartawan itu. (Kompas Minggu, 11-09-2011)
Sebelumnya Perdana Menteri Naoto Kan, juga mengundurkan diri karena malu. Perdana Menteri Kan dikecam karena dinilai lamban dalam menangani bencana alam ganda di wilayah Fukusihima yang menelan lebih 20 ribu jiwa itu. Karena malu dianggap tidak mampu mengatasi masalah, Kan pun mundur.
Ini hanya kisah undur diri yang kesekian kali yang terjadi di Jepang, sebab sudah banyak kisah pejabat yang mengundurkan diri sebelumnya. Penyebabnya selalu sama karna merasa gagal atau tidak mampu, atau pun kesandung kasus-kasus yang dianggap memalukan. Mungkin saja “budaya malu” di Jepang ini terjadi sebagai warisan dari tradisi “harakiri” jaman dulu. Ketika kalah dalam peperangan orang Jepang akan melakukan bunuh diri “harakiri”, yaitu dengan menusuk perutnya sendiri. Mereka merasa lebih baik mati dari pada harus menanggung malu.
Saya lalu membandingkan dengan apa yang terjadi di negeri ini. Mengundurkan diri dari jabatan merupakan sesuatu yang sangat langka, padahal tidak sedikit para pejabat yang ditengarai tidak memberikan prestasi yang jelas dalam kerjanya. Menteri Perhubungan yang dikecam bertubi-tubi karena banyak pesawat yang landingnya anjlok di persawahan atau di tercebur di lautan, kereta api yang saling berciuman, juga tak pernah terdengar ada ceritanya mundur. Pejabat yang korupsi atau ketahuan teribat kasus-kasus yang memalukan juga tak mengenal istilah mundur. Meskipun sudah banyak indikasi pejabat yang berbuat “memalukan”, tapi mundur justru dianggap sesuatu yang memalukan.
Bila ada seorang pejabat apes dan kepergok berbuat yang memalukan dan menyatakan mundur, justru akan segera dihakimi sebagai seorang yang hanya ingin membuat sensasi. Mundur dari jabatan juga sering dianggap sebagai lari dari tanggung jawab, pokoknya ada saja alasan untuk mencari pembenaran.
Segelintir pejabat yang pernah undur diri dari jabatan, alasannya bukan karena menyadari bahwa dirinya tidak mampu atau malu-maluin. Alasan undur diri itu lebih karena adanya konflik kepentingan dengan atasan sehingga tidak merasa nyaman lagi, semacam bentuk protes dan ngambek kepada atasannya. Undur diri itu sifatnya hanya sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan dan ketidakpuasan, bukannya atas kesadaran bahwa dirinya tidak mampu ataupun telah berbuat sesuatu yang memalukan.
Pembenaran-pembenaran itu mungkin juga yang menyebabkan maraknya praktek-praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang terjadi di negeri ini. Di sini memang yang ada baru “budaya tak tahu malu” dan belum “budaya malu” semacam yang ada di Jepang.
Ternyata malu pun bisa berarti positif.
 
sumber : Lintas Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar